Rabu, 17 Maret 2010

Laila Majnun 5

Re: Laila & Majnun (Novel Epos Nizhami)


Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia
tidak pernah bisa mencintainya. "Aku tidak akan pernah
menjadi seorang istri," katanya. "Karena itu, jangan
membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang
lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa
membuatmu bahagia." Sekalipun mendengar kata-kata
dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup
bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya
Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa
Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh
Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari.
Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati
dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang
mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang
yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih
dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung
lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan
ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi
apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu.
Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah
menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan
selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga
kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku
hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu,
janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau
telah memilih orang lain sebagai pendampingmu.
Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang,
meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan
memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah
anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional.
Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, "Dalam
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun.
Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu
menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan
cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya
di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu
yang ada di sekelilingmu”. “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap
jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku,
kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta,
engkau ataukah aku?.

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun
meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan
bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang
sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara
bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari,
ia memainkan serulingnya dan melantunkan
syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini
menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis
syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.
Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara
hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan
sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang
sanggup mengusik dan mengganggunya.

Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam
tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia
hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian
dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila
berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi
merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan
kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua
orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan
suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar
tentang dunia luar dengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir
Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun
dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat.
Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa
bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan
lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia
pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin
mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira
bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal
sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang
hilang dan sudah lama dirindukannya.

Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang,
acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis.
Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya
dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung
usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih
berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,
yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya.
Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila
justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan
dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak
tidur dengan baik selama bermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya
kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila
sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup
bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang
mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti
kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat,
ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa
berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya!
Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu
kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa
waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil
mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu
malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap
pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil
bergumam, Majnun…Majnun..Majnun.

(page 5)


Source :by Pencinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar